Lakon: The King SBY

Intersisinews.com- Beberapa hari ini publik tengah ramai soal kardus dan spanduk. Kabar menggelikan tersiar setelah SBY berkunjung ke Pekanbaru. Ia dikabarkan menangis setelah melewati lokasi kunjungan, ternyata karena spanduk Partai Demokrat dirusak orang. Dengan penuh haru, di depan media, dia mengangkat spanduk tersebut dan berkata “Saya Bukan Pesaing Bapak Jokowi.”

Berdasarkan statement yang dikeluarkanya, SBY sudah melakukan suatu tuduhan serius kepada orang lain secara tersirat. Dalam hal ini seakan dimaknai, perusakan ini dihubungkan dengan jokowi. Irrelevant.

Setelahnya, SBY memerintahkan kepada seluruh kader untuk mencabut semua spanduk Partai Demokrat. Arahan tersebut menjadi satu kebijakan yang baper dan tidak seharusnya dilakukan. Kebijakan ini justru menjadi tidak menghargai kerja keras dari para kader di lapangan.

Lagipula kalau memang mau menurunkan semua spanduknya, tidak perlu memanggil media ramai-ramai. Cukup beri instruksi senyap dan selesai, bendera turun semua. Rakyat sudah pintar, tidak bisa dibodohi lagi, tidak perlu playing victim.

Lucunya, masalah spanduk dibesar-besarkan. Berapa banyak spanduk caleg tingkat kota kabupaten yang diangkut satpol PP atau dirusak rival, tapi tidak dibesar-besarkan. Mereka yang bukan elite parpol saja bisa tidak gaduh. Elite rasa grassroot.

Kalau kita mau bandingkan dengan pengerusakan kantor PDIP 1996 lalu, PDIP yang menanggung kerugian besar atas hancurnya aset mereka tidak lantas jadi dramatis melankolis seperti SBY yang hanya rusak spanduk sintetisnya.

Atau jangan-jangan bisa jadi skenario yang terlihat dibuat-buat ini, berasal dari si korban sendiri? Bukan tidak mungkin modus yang dilakukan, menyuruh sendiri, merusak sendiri, menangis sendiri, melaporkan sendiri.

Melihat kejadian yang ada, terlihat SBY sedang memainkan gaya-gaya lama strategi politiknya. Gaya Caper Drama King.

Hal ini mengingatkan kita pada proses perjalanan politik SBY, hingga mencengkeram kekuasaan Presiden Indonesia 2 Periode. Periode pertama kemenangan SBY sebagai Presiden RI, dibumbui aroma pengkhianatan SBY pada Megawati.

Beberapa bulan sebelum Pemilihan Presiden, SBY ditanya oleh Megawati, apakah dia akan maju dalam pemilihan Presiden? SBY menjawab tidak. Dan kenyataanya, SBY maju, jujurkah sikap seperti ini?

Masyarakat mungkin tidak banyak tahu, namun itulah faktanya. Sikap tidak kesatria ditunjukan oleh SBY kepada orang yang telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya. Pada akhir masa Presiden Gusdur, SBY di pecat sebagai menteri, lalu di era Megawati, SBY diangkat kembali sebagai Menko Polkam.

Mendekati Pilpres 2004, SBY kembali melakukan strategi kutu loncatnya, dengan mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Alasan kemunduranya, karena dia merasa kewenanganya diambil alih presiden.

Seperti menusuk dari belakang, sikap SBY tidak beretika dengan menjatuhkan orang yang telah berbaik hati mengangkat kembali derajatnya. Demi popularitas, dengan caper-nya SBY mencari simpati publik melalui pembunuhan karakter Megawati.

SBY mungkin tidak buat hoaks, tapi drama. Dramanya dulu pernah membuat terkesima rakyat Indonesia, yang menang dia, yang jadi korban, Ibu Mega, seakan beliau yang jadi antagonisnya. Kasihan Ibu Mega, sampai almarhum Bapak Taufik Keimas juga tersudut di masa itu.

Yang mungkin tidak banyak diketahui lagi, satu setengah tahun SBY menjadi Menko Polkam, ia sudah menyiapkan berdirinya Partai Demokrat secara diam-diam. 14 tahun berlalu sejak masa itu, gaya kotor yang sama ingin dimainkan kembali.

Dua periode SBY menjadi presiden seharusnya sudah menjadi waktu yang cukup baginya untuk belajar lebih bijak. Hari ini, ia seharusnya mengambil peran sebagai seorang bapak negara. Tugasnya sudah paripurna. Ia harus memberi kesempatan kepada orang lain sebagai regenerasi kepemimpianan bangsa.

Yang jadi masalah, karena adanya ambisi dinasti yang ingin dipertahankan dalam mengelola negeri ini. SBY rela tampil kembali di panggung drama demi mengangkat partainya yang kurang bersinar dan buah hatinya yang gagal dalam Pilgub DKI, nepotisme sistemis. Tentunya, karakter ini berbeda dengan Presiden Jokowi yang tidak melibatkan keluarga dalam urusan politik.

SBY masih harus banyak belajar. Seharusnya Presiden yang sudah menjabat 2 periode tidak perlu lagi menjadi ketua umum partai. Pertanda stagnansi kaderisasi institusi. Sudahlah pak, beristirahatlah kembali menjadi Bapak Bangsa, seperti Presiden Habibie, Presiden Megawati dan atau tirulah Obama, yang sedang berlibur dengan tenang dari kehidupan negara.

Stop Lebay. Mari Bekerja Membangun Bangsa. Tanpa pencitraan dan dramatisasi tentunya. (**)

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.