Keluarkan Perwal 36 Tahun 2015 dan Perwal 36A tahun 2015, Walikota Bengkulu di Ujung Tanduk

Opini, Intersisinews.com- Peraturan walikota merupakan jenis peraturan perundang-undangan lain yang tertuang dalam Pasal 7, Undang-Undang (UU) Nomor  12 Tahun 2011. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 8 ayat (1) UU  12/2011 yang berbunyi, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), mencakup peraturan  yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,  Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,  Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Jadi, Peraturan Walikota termasuk jenis peraturan perundang- undangan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, namun ditetapkan oleh walikota. Berkaca dari definisi perwal tersebut ada yang menarik dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sedang di proses di Pengadilan Negeri Bengkulu yaitu terkait pembayaran dana Beban kerja tahun 2015.

Dikutip dari sumber media Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bengkulu, Emilwan Ridwan mengatakan, “Dalam pembayaran dana Beban  Kerja (BK) yang dilakukan oleh DPPKAD Kota Bengkulu tahun 2015 telah merugikan negara sebesar Rp 1,5 Miliar dari total anggaran  Rp 5,4 Miliar. Kerugian tersebut berdasarkan hasil audit tim BPKP  Provinsi Bengkulu.”

Lalu apa yang menjadi payung hukum dalam pembayaran dana Beban Kerja (BK) tahun 2015 tersebut ? ,

Nah ini menjadi perdebatan dan menjadi persoalan sebab akar timbulnya kerugian negara ini akibat adanya peraturan yang saling bertentangan, terlepas apakah itu  disengaja atau tidak tentu nanti melalui proses persidangan hakim akan memutus siapa saja yang mesti bertanggung jawab dalam kasus ini.

Masih dikutip dari  sumber media  “Perwal Nomor 36 tahun 2015 dengan  Perwal Nomor 12 tahun 2014 terjadi selisih pembayaran. Inilah salah satu pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini,” ungkap Kajari.

Kata Emilwan, Perwal Nomor 36 tahun 2015 untuk pembayaran  dana BK berlaku mulai bulan Agustus tahun 2015.

Tetapi, sambung Kajari, pembayaran sudah dilakukan sejak Januari  hingga Agustus. Kemudian, pembayaran dana BK mulai sejak Januari  hingga bulan Agustus tersebut hanya pembukuan saja. Kenyataannya,  lanjut Emilwan, ASN dan honorer hanya menerima dana BK dari bulan  Januari hingga Februari. “Ada beberapa yang tidak dilakukan pembayaran, tetapi uang yang dikeluarkan menyatakan sudah  dibayarkan. Ini bagian dari pelanggaran dalam perkara ini,” kata Kajari.

Dalam kasus ini dapat dilihat upaya untuk melakukan korupsi dengan mencairkan sejumlah uang mulai dari bulan januari padahal Peraturan itu mulai berlaku sejak mulai diundangkan dan tidak dapat suatu peraturan diberlakukan surut kecuali memenuhi syarat dan ketentuan dalam Pemberntukan peraturan perundang undangan, Perwal Nomor 36 Tahun 2015 itu merupakan payung hukum untuk pembayaran BK yang dilakukan mulai Agustus 2015, sedangkan untuk pembayaran yang dilakukan sebelum bulan agustus tidak memiliki dasar sehingga inilah yang menjadi persoalan hukum sekarang ini.

Dikutip dari  sumber media  M Sofyan, yang ikut menjadi tersangka dalam perkara ini mengatakan pencairan atau pembayaran  dana BK tersebut berdasarkan Perwal Nomor 36A tahun 2015.

“Pembayaran dana BK tersebut bukan Perwal Nomor 36 tahun 2015, akan tetapi Perwal Nomor 36 A tahun 2015. Hal itu sudah ditelaah oleh bidang hukum dan sudah sah,” ungkapnya Rabu (21/11/2018). Artinya dalam pembayaran dana BK tersebut ada payung hukum lain yaitu Perwal Nomor 36A tahun 2015.

Untuk Isi Perwal 36A tahun 2015 tidak banyak yang tau, namun suatu peraturan itu mulai berlaku sejak di umumkan dan ditandatangani, dari bebarapa sumber media ini mengungkap jika Perwal 36 A tahun 2015 dibuat sebagai payung hukum untuk pembayaran BK  sejak januari 2015.

Apakah suatu Perwal dapat diberlakukan surut?

Dalam angka 155 Lampiran UU 12 Tahun 2011 pada dasarnya mulai berlakunya peraturan perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.

Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal dari pada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut angka 156 Lampiran UU 12 Tahun 2011:

a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;

b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;

c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya

Sebagai referensi suatu peraturan bisa berlaku surut, yaitu perda yang mengatur teknik tata cara pembentukan dan tehnik penyusunan peraturan daerah. Perda yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 2004 tentangTata Cara Pembentukan Dan Tehnik Penyusunan Peraturan Daerah (“Perda Jateng 1/2004”).

Dalam Perda Jateng 1/2004 disebutkan bahwa jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut

Artinya jika benar Pewal 36A Tahun 2015 dikeluarkan dan diberlakukan surut itu dapat saja dilakukan namun harus memenuhi ketentuan yang ada dalam angka 156 Lampiran UU 12 Tahun 2011.

Bagaimanakah pertanggung jawaban terhadap 36 Tahun 2015  dan Perwal 36A Tahun 2015 tersebut ?

Menurut Phillipus M. Hadjon, Kewenangan atau wewenang adalah konsep dalam hukum publik. Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi.

Ditinjau dari sudut perolehan Kewenangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang menurut Hukum Tata Usaha Negara dapat dapat dibedakan sebagai berikut :

Pertama, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara atribusi, yaitu wewenang yang langsung diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya wewenang Gubernur, Bupati, bendahara dsb.

Kedua, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara delegasi yaitu wewenang yang diperoleh dari adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris). Karena wewenang telah didelegasikan maka delegans sudah tidak lagi mempunyai wewenang tersebut dan tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan menjadi tanggung jawab dari delegataris. Dalam delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.

Dalam pengelolaan keuangan daerah, Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.

Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, sebenarnya lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah.

Namun terkait dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)? Maka konsep Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah dalam bentuk delegasi meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru.

Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, yang berakibat merugikan keuangan negara.

Dalam hal ini siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban?

Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), yaitu Panitia lelang.

Ketiga, wewenang yang diperoleh dengan cara mandat, yaitu wewenang yang diperoleh penerima mandat (mandataris) yang hanya terbatas melaksanakan wewenang tersebut atas nama pemberi mandat. Dalam mandat tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang masih tetap menjadi tanggung jawab pemberi mandat.

Setelah mendapat gambaran lebih jelas tentang apa itu kewenangan, cara memperolehnya dan bagaimana penerapannya, selanjutnya kita masuk kepada pokok inti permasalahan yaitu :

Kapan suatu kebijakan yang dilekati wewenang kemudian menjadi masalah hukum ? jawabannya adalah ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang atau peraturan-peraturan lain,
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Bentuk bentuk penyalahgunaan kewenangan inilah yang seringkali dipergunakan penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata sebagai koruptif.

Namun apakah sesederhana itu menyimpulkan bahwa seorang pengambil kebijakan yang ketika mengambil kebijakan berdasarkan jabatannya yang ternyata telah melanggar undang-undang atau peraturan atau melanggar prosedur (SOP) yang telah ditetapkan dan akibatnya telah merugikan negara berarti telah melakukan tindak pidana korupsi ?

Hukum pidana menempatkan pelaksanaan perintah Undang-undang (pasal 50 JUHP), Perintah jabatan (pasal 51 ayat 1 KUHP), dan melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2 KUHP) dalam kualifikasi “tidak dapat dipidana”, karena tergolong ke dalam kelompok dasar peniadaan pidana. Artinya dalam hukum pidana, tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi juga dipisahkan. Pemisahan tersebut dikontruksikan dalam bentuk : tidak dapat dipidananya perbuatan, sepanjang dalam kualifikasi tanggung jawab jabatan.

Persoalannya adalah bagaimana menentukan batasan antara perbuatan atau tindakan yang termasuk dalam kualifikasi menjalankan perintah Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan maupun melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik, dengan perbuatan atau tindakan dalam kualifikasi pribadi pejabat tersebut?

Tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, perbedaan tersebut membawa konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN).

1. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam tindak pemerintahan tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi yaitu perbuatan tercela pejabat dalam bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang atau pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.

2. Tanggung gugat perdata dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa/pejabat

3. Tanggung gugat TUN adalah tanggung jawab jabatan.

Dengan demikian Maladministrasi menjadi penentu dalam konsepsi pemisahan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi pejabat. Dalam hukum pidana menganut prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility), sedangkan pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan).

Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan kebijakan (beleid), hakim tidak dapat melakukan penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut dapat dituntut pidana.

Penyalahgunaan wewenang dalam Diskresi.

Diskresi/kebijakan. Dalam bahasa jerman disebut freis ermessen.
Menurut Laica Marzuki, Freis ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi warga yang kian komplek.

S. Pramudji Atmosudirdjo mengatakan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, sebab tidak mungkin undang-undang untuk mengatur segala macam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya diskresi dari pejabat yang terdiri dari diskresi bebas dan diskresi terikat.

Pada diskresi bebas undang-undang hanya menetapkan batas-batas, dan pejabat bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut.

Apa batasan tersebut yang tidak boleh dilanggar ?

– Tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis.
– Penggunaannya hanya ditujukan demi kepentingan umum

Pada diskresi terikat, undang-undang menetapkan beberapa alternatif dan pejabat bebas memilih salah satu alternatif.

Dalam praktek pemerintahan, freis ermessen dilakukan dalam hal :

Belum ada peraturan per-UU-an yang mengatur tentang maslaah inkonkrito terhadap suatu masalah padahal masalah tersebut harus segera penyelesaian segara. Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan mana semata-mata atas praksarsa sendiri.

Bahwa seorang pengambil kebijakan dilekati dengan wewenang. Dalam mengambil kebijakan, seorang pengambil kebijakan harus mempertimbangkan manfaat atau tidaknya kebijakan tersebut demi kepentingan umum yang dilidunginya. Intinya kebijakan yang diambil adalah pilihan terbaik pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum. Apabila hal ini dilakukan oleh pengambil kebijakan tanpa motif jahat misanya dengan maksud memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka apa yang diputuskannya tidak dapat dipidana walaupun membawa implikasi misalnya kerugian negara.

Dasar kebijakan tidak bisa dipidana demi kepentingan umum adalah Yurisprudensi MA tahun 1966.

Yurisprudensi ini menghapus pidana yang muncul dari tindakan kebijakan asal memenuhi tiga syarat yaitu : Negara tidak dirugikan, seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum dan untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum.

Namun apabila pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan mengandung unsur suap, ancaman, dan penipuan tetap bisa dipidana. Jadi tergantung niat atau motivasinya.

Untuk membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain harus dibuktikan adanya konflik kepentingan atau kongkalikong antara pengambil kebijakan dengan pihak lain. Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh yang menunjukkan ada masalah atau tidak.

Kapan kesalahan administrasi membentuk pertanggungjawaban pidana ?

Jadi pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan Negara dan dilakukan dengan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain maka itu merupakan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan 3 UUPTPK, pelanggaran administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Perbuatan administrasi yang memenuhi syarat itu membentuk pertanggungjawaban pidana.

Penulis: Redaksi
dirangkum dari berbagai sumber

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.