Tanggapan Politisi Terhadap Masyarakat Gangguan Jiwa Boleh Ikut Pemilu

Bengkulu, Intersisinews.com- Gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap akomodasi masyarakat yang mengalami gangguan mental menggunakan hak politiknya pada Pemilu serentak tahun 2019 mendatang, secara tidak langsung mendapat tanggapan beragam dari sejumlah Calon Legislatif (Caleg) di Bengkulu.

Caleg DPR RI Dapil Bengkulu dari PDI Perjuangan, Muspani menilai, kebijakan diakomodirnya pemilih ganguan mental untuk memilih itu, terkesan tidak logis. Mengingat masyarakat dengan gangguan mental, di duga tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

“Saya rasa masyarakat gangguan jiwa tidak bisa menentukan pilihan, karena pikirannya terganggu,” katanya, Selasa, (27/11/2018).

Dijelaskan, adanya kebijakan baru tersebut disinyalir mengalami sesat pikir. Di mana, orang yang dipilih dan memilih itu sehat secara jasmani dan rohani, dengan ditandai dilakukan tes kesehatan. Bahkan jika dinyatakan tidak sehat, dipastikan gugur dan tidak bisa mencalonkan diri.

Begitu juga dengan pemilihnya, agar bisa menentukan pilihan terbaik dan menentukan nasib negara selama 5 tahun kedepan.

“Diketahui orang gangguan mental itu, tidak bisa memilih Caleg terbaik, Kepala Daerah terbaik serta Presiden dan Wakil Presiden terbaik. Lantaran tidak bisa memikirkan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Belum lagi surat suara nanti ada 5 jenis yang berbeda-beda, sehingga bisa membuat mereka (orang gangguan mental,red) semakin pusing,” terangnya.

Secara terpisah, Caleg DPRD Provinsi Bengkulu Dapil Bengkulu Utara-Bengkulu Tengah, dari Partai Golkar, Imron Rosadi meminta, pihak KPU harus benar-benar siap, terkait kebijakan orang gangguan mental bisa memilih dalam Pemilu 2019 mendatang.
Pasalnya tidak menutup kemungkinan akan ada terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan saat orang yang terganggu mentalnya berada di TPS.

“Saya rasa teknisnya perlu dipikirkan saat berada di TPS, agar tidak sampai ribut. Apalagi biasanya orang dengan gangguan mental itu tidak ingin atau takut terhadap banyak orang disekitarnya. Nanti bukan mencoblos, tapi suarat suaranya di sobek dan TPS bisa dirusaknya. Sehingga kondisi demikian menyebabkan masyarakat lain tidak bisa memilih atau enggan untuk memilih,” paparnya.

Meski demikian ditambahkan, adanya kebijakan baru itu, mau tidak mau pihak penyelenggara harus bisa bertanggungjawab. Artinya segala sesuatu yang akan terjadi nanti, harus benar-benar diperhitungkan.

“Masyarakat gangguan mental memiliki hak politik, perlu pengkajian lebih lanjut dan perlu persiapan yang matang, terutama terhadap kemungkinan hal yang buruk akan terjadi saat akan menggunakan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nanti,” tutupnya. (red-2)

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.